Setahun sudah berlalu sejak tragedi Kanjuruhan yang menggemparkan Indonesia pada bulan Juli tahun lalu. Pada saat itu, sebuah pertandingan sepak bola antara dua klub terkenal, Persija Jakarta dan Persib Bandung, berubah menjadi malapetaka yang menelan korban jiwa dan melukai banyak orang.
Tragedi ini terjadi ketika suporter kedua tim, yang dikenal dengan sebutan The Jakmania dan Viking Persib Club, terlibat bentrokan hebat di luar stadion Kanjuruhan, Malang. Bentrokan tersebut berlangsung sangat brutal, dengan penggunaan senjata tajam, batu, dan benda-benda keras lainnya.
Akibat dari tragedi ini, 70 orang dinyatakan tewas dan lebih dari 500 orang mengalami luka-luka. Bukan hanya para suporter yang terlibat dalam kerusuhan ini, tetapi juga masyarakat umum yang sedang berada di sekitar lokasi. Tragedi ini menjadi titik balik dalam sejarah sepak bola Indonesia, mengingat tingkat kebrutalan dan kekerasan yang terjadi.
Setelah tragedi ini, Pemerintah Indonesia membentuk Tim Gabungan Investigasi Peristiwa Fakta (TGIPF) yang bertugas menyelidiki penyebab dan pelaku dalam tragedi Kanjuruhan. TGIPF kemudian mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Namun, setahun setelah tragedi Kanjuruhan, banyak rekomendasi yang diberikan oleh TGIPF belum juga dijalankan sepenuhnya. Salah satu rekomendasi utama adalah penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan dalam sepak bola. Namun, hingga saat ini, masih banyak pelaku kekerasan yang tidak ditindak secara tegas dan masih leluasa melakukan tindakan kekerasan tersebut.
Selain itu, TGIPF juga merekomendasikan adanya perubahan dalam pengelolaan pertandingan sepak bola di Indonesia. Mereka menyarankan agar pengelolaan pertandingan sepak bola menjadi lebih profesional dan terorganisir dengan baik. Namun, hingga saat ini, masih banyak pertandingan sepak bola yang diwarnai oleh kerusuhan dan kekerasan.
Lebih lanjut, TGIPF juga menyarankan adanya peningkatan pengawasan dan keamanan di dalam dan di sekitar stadion. Mereka merekomendasikan adanya penggunaan teknologi seperti CCTV yang dapat memantau setiap sudut stadion secara langsung. Namun, masih banyak stadion yang belum memiliki sistem keamanan yang memadai.
Tak hanya itu, TGIPF juga merekomendasikan adanya perubahan dalam budaya suporter sepak bola di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya promosi nilai-nilai sportivitas dan menghindari konflik antara suporter. Namun, sampai sekarang, masih sering terjadi bentrokan dan kerusuhan antara suporter di berbagai pertandingan sepak bola di Indonesia.
Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi cambuk bagi semua pihak untuk melakukan perubahan yang nyata dalam dunia sepak bola di Indonesia. Namun, dengan banyaknya rekomendasi TGIPF yang belum dijalankan sepenuhnya, kita masih jauh dari mencapai tujuan ini.
Diperlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah, pengelola sepak bola, suporter, dan seluruh stakeholder terkait untuk mewujudkan perubahan yang signifikan. Kita harus bersatu untuk menciptakan lingkungan sepak bola yang aman, menyenangkan, dan penuh sportivitas.
Setahun telah berlalu sejak tragedi Kanjuruhan, namun kita tidak boleh melupakan korban dan pelajaran yang harus kita ambil dari peristiwa ini. Kita harus terus berjuang untuk mewujudkan sepak bola yang lebih baik di Indonesia, di mana kekerasan dan kerusuhan tidak lagi menjadi bagian dari permainan yang kita cintai.